katasapril

kata-kata sapril

Kalau Saya Punya Cafe Nanti


Di Belitong Cafe Maknanya Peyoratif-Buruk

Sebelum saya menjelaskan apa yang saya tulis di subjudul di atas, saya mau bilang dulu, one of my wish: Saya ingin punya kafe. Amin. Karena saya suka ngopi, dengan suasana yang nyaman-cozy dan menyenangkan-pleasure.  Dan yang lebih penting, little bit romantizing, kafe adalah tempat bersejarah saya dan mantan pacar 😉

Jogja yang tidak begitu besar memiliki berpuluh–beratus, mungkin–kafe yang bisa dipilih. Mulai dari kedai yang menyediakan kopi lokal dengan aroma beragam dari seluruh Indonesia, sampai kafe di mall-mall dengan brand terkenal–dan mahal huehehehe… Dan sebagian besar perjalanan cinta saya dan dirinya tak jauh-jauh dari kafe. Angkringan lebih tepatnya wakakakak…

Kafe punya sejarah yang besar dalam hidup saya; saya ‘belajar nembak’ di kafe–suatu malam yang teduh di salah satu kafe klebengan utara gedung pusat UGM. Deal buku pertama saya–8 Kunci Sukses Memahami Isi Hati Cewek–juga di kafe di perempatan sebelah utara kampus tehnik UNY. Dan banyak momen-momen ‘aha!’ saya bermula dari kafe-kafe seputaran Jogja.

Waktu itu–2004-2006, saya membayangkan kalo saya adalah JK Rowling yang menulis dengan persisten dan keyakinan serta visi kuat bahwa tulisannya akan dibaca banyak orang di sebuah kafe merek terkenal. Hahahahah… Well, buku pertama saya terbit, disusul buku ke-2, ke-3, dan keempat. Tapi belum seberuntung mb JK yang punya castle di Britain sana.

Dan sekarang saya di sini, di Belitong tanah kelahiran saya. Jadi pegawai berseragam pemda. Kok ingin punya cafe? Ya itu tadi alasannya; alasan romantik plus ekonomik lah. Yang pasti kalo kafe nya punya saya, saya ga bakal repot kalo mau ngopi 🙂

Tentang Kafe Semak

Tadi saya bilang, kata kafe punya arti yang buruk di Belitong? Iya, ada banyak warung-warung remang di pinggiran kota, lebih tepatnya di daerah pinggiran pinggiran hutan. Dan sajian utama ‘kafe’ itu bukan kopi, you know what i mean. Sebagian orang menyebutnya kafe semak.

Perkembangan kafe semak ini, menurut cerita para senior adalah ekses dari booming tambang timah konvensional–tambang rakyat yang bukan dikelola oleh perusahaan besar melainkan orang-per-orang bermodal kuat. Tingginya harga timah mengakitbatkan melesatnya kemampuan ekonomi sebagian masyarakat Belitong. Dengan uang banyak, mereka bisa membeli apa saja, dan tentu saja pleasure. Jangan bayangkan Belitong seperti Jogja yang memiliki segudang mall dan tempat menyenangkan untuk berbelanja atau bergembira. Hanya ada dua supermarket, dan bertaburan war-kop di pasar yang hanya buka malam hari, serta dua tempat liburan yang sudah sangat bernama; Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi.

Wah… uang yang banyak itu apa tidak sebaiknya ditabung saja, atau buat pendidikan anak? Iya, banyak kok yang sudah memiliki budaya menabung. Tapi kan kita tidak bisa memaksa orang kan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dan yah, kafe semak masih tetap eksis, meski pemda sudah mengeluarkan perda untuk tidak menggunakan kata ‘kafe‘ lagi untuk warung-warung semak yang didominasi alkohol *dan perempuan*  ini.

Kalau saya Punya Kafe, Nanti

Nah, balik lagi kalau saya punya kafe. Tidak muluk; yang penting nyaman dengan fasilitas banyak buku dan tentu saja, hotspot! Hahaha… saya membayangkan seperti TOGA MAS bawah toko buku, di atas kafe hotspot. Tanpa AC, cukup angin semilir yang sejuk. Toh Belitong ga panas-panas amat.

Nah, tanah sudah ada, lokasi bagus, tinggal ngumpulin modalnya deh. Eh, namanya juga belum jadi 🙂

Ya Allah, sudah dicatatkah keinginanku ini? Amin.

*gambar logo di atas adalah re-make dari sebuah game yang baru-baru ini saya mainkan: coffe tycoon.

3 responses to “Kalau Saya Punya Cafe Nanti

  1. de'CerrenT November 23, 2010 pukul 6:52 am

    Cafe Semak (cafe bang semak)

    ajarek muat share this : facebook n twiter ?

Tinggalkan komentar